Senin, 19 April 2010

Laporan Pendahuluan Apendiksitis

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN APENDIKSITS


I. PENGERTIAN
Apendik adalah organ kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Karena apendik mengosongkan diri dengan tidak efisien, dan lumennya kecil, maka apendik mudah mengalami obttruksi dan rentan terhadap infeksi ( Apendiksitis )
Apendiksitis merupakan penyebab yang paling umum dan imflamasi akut kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen darurat.
II. TANDA DAN GEJALA
1 Nyeri difus yang timbul mendadak di daerah epigastrium atau periumbilikus
2 Dalam beberapa jam, nyeri lebih terlokalisasi dan dapat di jelaskan sebagai nyeri tekan di daerah kanan bawah
3 Pada titik Mc Burney ( terletak di antara umbilicus dan spina anterior dari ilium ) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian bawah otot rectus kanan
4 Nyeri lepas atau nyeri alih ( nyeri yang timbul sewaktu tekanan di hilangkan dari bagian yang sakit ) mungkin saja ada, mungkin letak apendik mengakibatkan sejumlah nyeri tekan, spasme otot, dan konstipasi atau diare kambuhan
5 Tanda Rovsing ( dapat di ketahui denagn mempalpasi kuadran kanan bawah yang menyebabkan nyeri pada kiri bawah )
6 Demam
7 Nyeri kuadran bawah biasanya disertai nausea, anoreksia, muntah- muntah dan suhu rendah
III. PATOFISIOLOGI
Reaksi pertama pada infeksi adalah reaksi umum yang melibatkan susunan saraf pusat dan system hormone yang menyebabkan perubahan metabolic. Pada saat itu terjadi reaksi jaringan imforetikularis di seluruh tubuh berupa proliferasi sel pagosit dan sel pembuat antibidi ( limfosit B )
Reaksi kedua berupa reaksi lokal yang di sebut inflamasiakut. Reaksi ini terus berlangsung selama masih terjadi proses pengrusakan jaringan oleh trauma. Bila penyebab kerusakan jaringan biasa di berantas, maka sisi jaringan yang rusak yang di sebut debris akan di fagositosis dan di buang oleh tubuh sampaiterjadi revolusi atau kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi fagosit kadang berlebihan berkumpul dalam suatu rongga membentuk abses atau bertumpuk di sel jaringan yang lain membentuk plegnon (peradangan yang luas dijaringan ikat )
Trauma yang hebat berlebihan dan terus menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan yang juga berlebihan berupa fagositosis febris yang di ikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini di sebut dengan fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan berhenti akan terjadi penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa , tetapi bila pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase imflamasi ???
Di kenal tiga radang yaitu : inflamasi akut, sub akut dan kronik . gambaran imflamasi akut menunjukan rubor( kemerahan ) dan logor ( demam setempat ) akibat vasodilatasi, dan tumor ( benjolan ) karena eksudasi. Ujung saraf akan terangsang oleh peradangan sehingga terdapat rasa nyeri ( dolor ). Nyeri dan pembengkakan akan menyebabkan gangguan faal. Kelima gejala ini di kenal dengan nama gejala cardinal dari celsus ( ALUS Cornelius Celsua, 53 SM- 50 AD , seorang cendikiawan Romawi )
Abses akibat radang akut berat yang terletak dekat permukaan di tandai dengan adanya fluktuasi, sedangkan flegmon yang sering di temukan di jaringan subkutis di tandai dengan pembengkakan difus yang merah dan sangat nyeri. Pada keduanya biasanya di dapati demam dan umumnya keadaan umum yang menurun. Abses dapat pecah oleh adanyan nekrosis jaringan dan kulit di atasnya
Fase imflamasi akut dapat di ikuti oleh radang kronik. Imflamasi akut atau kronis yang ada di permukaan atau mukosa dapat menyebabkan kerusakan epitel yang menyebabkan tukak atau ulkus. Kadang pusat infeksi atau radang berada jauh di bawah kulit sehingga nanah akan keluar melalui jaringan khusus yang terbentuk pada jaringan yang paling lemah. Jaringan khusus ini di sebut fistel atau sinus ( fistel/fistula : pipa atau sinus : ruang atau cekungan )
Tubuh akan breusaha membatasi infeksi ini dengan mengaktifkan jaringan limfoid sehingga terjadi radang akut kelenjer limfe ( limfadenitis regional )
Bila yang masuk virulensi tinggi, atau keadaan pertahanan tubuh sedang lemah, kuman dapat masuk ke pembuluh darah dan terbawa ke aliran darah terus berkembang biak, dan masuk keseluruh jaringan tubuh menyebabkan septisemia ( pembusukan darah )

IV. KOMPLIKASI
1 Komplikasi mayor adalah perforaisi apendiks yang dapat menorah ke peritonitis atau pembentukan abses
2 Perforasi biasanya terjadi setelah 24 jam setelah awitan nyeri ( gejala- gejalanya termasuk demam, penampilan toksik, dan nyeri berlanjut )
V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1 Jumlah leukosit lebih dari 10.000 / mm3
2 Jumlah netrofil lebih tinggi dari 75 %
3 Pemeriksaan sinar x dan ultrasonografi menunjukan densitas pada kuadran kanan bawah atau tingkat aliran udara setempat
4 Kekakuan pada seluruh dinding abdomen bisa mengindikasikan apendiks rupture dan terjadi peritonitis
VI. PENATALAKSANAAN MEDIS
1 Pembedahan di indikasikan jika terdiagnosa apendiksitis, lakukan apendiktomi secepat mungkin untuk mengurangi perforasi. Metode : insisi abdominal bawah di bawah anastesi umum atau spinal : laparoskopi
2 Berikan antibiotik dan cairan IV sampai pembedahan di lakukan
3 Analgesik data di berikan setelah diagnosa di tegakkan



KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN APENDIKSITIS

I. PENGKAJIAN
1 Aktivitas : malaise
2 Sirkulasi : tachicardia
3 Makanan/ cairan : anoreksia, mual dan muntah
4 Nyeri / kenyamanan
a) Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus yang meningkat berat dan terlokalisai pada titik Mc Burney, meninkat karena berjalan, bersin atau nafas dalam
b) Perilaku berhati- hati
c) Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan / posisi duduk tegak
5 Keamanan : demam ( biasanya rendah )
6 Pernafasan : takipneu, dan pernafasan dangkal
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Nyeri akut berhubungan dengan ditensi jaringan usus oleh inflamasi, adanya insisi bedah
2 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatannya pertahanan utama perforasi / ruptur pada apendiks peritonitis pembemtukan abses prosedur invasive, insisi bedah
3 Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah pasvca operasi, pembatasan pasca operasi, status hipermetabolic, inflamasi peritoneum dengan cairan asing
4 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubunga dengan kurang terpajan atau nmengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal informasi
III. PERENCANAAN DAN EVALUASI
1 Diagnosa 1
Tujuan / criteria evaluasi : nyeri hilang / terkontrol
Intervensi :
a) Kaji karakteristik nyeri dengan tehnik P, Q ,R, S, T
b) Oservasi vital sign
c) Observasi respon verbal dan non verbal terhadap nyeri
d) Ajarkan tehnik distraksi ( pengalihan ) dan relaksasi ( nafas dalam )
e) Pertahankan istirahat dalam posisi semi fowler
f) Anjurkan mobilisasi dini
g) Kolaborasi dalam pemberian analgetik

2 Diagnosa 2
Tujuan / kriteria evaluasi : meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi/ inflamasi, drainage purulen, eritema dan demam
Intervensi :
a) Kaji tanda- tanda infeksi seperti : kolor, dolor, tumor, dan rubor
b) Observasi peningkatan vital sign
c) Rawat luka dengan tehnik aseptic
d) Pantau hasil laboratorium, terutama kadar WBC darah
e) Kolaborasi pemberian antibiotic

3 Diagnosa 3
Tujuan /criteria evaluasi : mempertahankan keseimbangan cairan, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, tanda vital stabil, haluaran urine adekuat
Intervensi :
a) Ji intake output ( balance cairan ) dalam 24 jam
b) Observasi adanya kekurangan volume cairan ( membrane mukosa, turgor kulit, rekafilary refill )
c) Observasi vital sign terutama tekanan darah dan nadi
d) Beri minum reoral dan lanjukan dengan diet sesuai toleransi
e) Kolaborasi pemberian cairan IV dan elektrolit


4 Diagnosa 4
Tujuan/ criteria evaluasi : menyatakan pemahaman tentang proses penyakit, pengobatan dan potensial terhadap komplikasi
Intervensi :
a) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang perawatan , pengobatan dan prognosis penyakit
b) Diskusikan tentang perawatan, pengobatan, dan prognosis penyakit
c) Beri HE tentang perawatan, pengobatan dan prognosis penyakit
d) Beri rewadrd bila dapat menyebutkan kembali penjelasan perawat

Buku sumber :
Corwin, Elisabeth, J, 2000, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta
Doengoes , Marilym, E, dkk. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, egc, Jakarta
Reeves J. Charlene, rouk Gayle, Lockhart Robin, 2001, Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah, Salemba Medika, Jakarta
Suddarth, Brunner, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta

Laporan Pendahuluan Fraktur

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR

A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa ( Arif Mansjoer,2000 )
Fraktur adalah patah tulang , biasanya disebabkan oleh trauma ( Sylvia A. Price, 1995 ).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang ( Marilyn E. Doenges,1999)

Berdasarkan perluasannya Fraktur diklasifikasi menjadi dua yaitu :
1. Fraktur komplit
Terjadi bila seluruh tubuh tulang patah atau kontinuitas jaringan luas sehingga tulang terbagi dua bagian dan garis patahnya menyebrabg dari satu sisi ke sisi yang lain sehingga mengenai seluruh korteks.
2. Fraktur inkomplit
Diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patahan tidak menyebrang sehingga masih ada korteks yang utuh.

Berdasarkan bentuk garis patahan, fraktur dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Fraktur linier atau transversal
Fraktur yang garis patahannya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang, pada fraktur ini segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi kembali ketempat semula, maka segmen itu akan stabil dan biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips.
2. Fraktur oblik
Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut tulang, fraktur ini tidak stabil dan sulit diperbaiki.
3. Fraktur spiral
Fraktur yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan fraktur semacam ini cenderung cepat sembuh dengan imobilasasi luar.

4. Fraktur green stick
Fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak. Korteks tulang hanya sebagian yang masih utuh, demikian juga periosteum.
5. Fraktur kompresive
Fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya.

Berdasarkan hubungan fragmen tulang dan jaringan sekitar, dibedakan menjadi empat yaitu :
1. Fraktur tertutup
Fraktur yang fragmen tulangnya mempunyai hubungan dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka
Fraktur yang fragmen tulangnya pernah berhubungan dengan dunia luar, dimana kulit dari ekstremitas telah ditembus.
3. Fraktur komplikata
Fraktur yang disertai kerusakan jaringan saraf, pembuluh darah atau organ yang ikut terkena.
4. Fraktur patologis
Fraktur yang disebabkan oleh adanya penyakit lokal pada tulang sehingga kekerasan dapat menyebabkan fraktur terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah lemah oleh karena tumor atau proses patologik lainya.

B. PATOFISIOLOGI
1. Etiologi
a. Trauma langsung
Benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, patah tulang pada tempat benturan.
b. Trauma tidak langsung
Jatuh bertumpu pada lengan yang menyebabkan patah tulang klavikula, patah tulang tidak pada tempat benturan melainkan oleh karena kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang dan terjadi fraktur di tempat lain.
c. Etiologi lain
1) Trauma tenaga fisik ( Tabrakan, benturan )
2) Penyakit pada tulang ( proses penuaan, kanker tulang )
3) Degenerasi spontan
2. Tanda dan gejala
a. Deformitas, mungkin terdapat kelainan bentuk pada lokasi yang terkena.
b. Funsiolaesia
c. Nyeri tekan
d. Nyeri bila digeser
e. Krepitasi, dirasakan pada tulang fraktur yang disebabkan oleh pergeseran dua segmen ( suara gemetar )
f. Bengkak akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti.
g. Spasme otot
3. Skema patofisiologi
Trauma langsung dan tidak langsung

Tekanan eksternal yang lebih besar dari yang
dapat ditahan oleh tulang


Perubahan kontinuitas pembedahan situasi baru
Aliran darah jaringan tulang

Pasca op Pre op
Risiko terhadap
Kerusakan
Pertukaran gas cedera cemas
Jaringan lunak
Terpasang alat Kurang
Spasme otot fiksasi internal pengetahuan
sekunder
- kerusakan mobilitas fisik
Nyeri - defisit perawatan diri
- risiko kerusakan integritas kulit


Trauma langsung dan tak langsung akan menyebabkan terjadinya tekanan eksternal pada tulang yang tekanannya lebih besar dari yang dapat ditahan oleh tulang. Tulang dikatakan fraktur bila terdapat interuksi dari kontinuitas tulang dan biasanya disertai cedera jaringan disekitarnya yaitu ligamen, otot, tendon, pembuluh darah dan persarafan. Sewaktu tulang patah maka sel-sel tulang akan mati, perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut.
Reaksi peradangan hebat terjadi setelah timbul fraktur, sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mast dimulai. Ditempat patah terbentuk bekuan fibrin dan berfungsi sebagai alat untuk melekatnya sel-sel baru, matur yang disebut kalus. Bekuan fibrin direabsopsi untuk membentuk tulang sejati. Penyembuhan memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyembuhan dapat terganggu atau terlambat apabila hematoma fraktur tulang / kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk atau apabila sel-sel tulang baru rusak selama proses kalsifikasi dan pergeseran.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar X ( rontgen )
Dapat melihat gambaran fraktur, deformitas, lokasi dan Tipe.
2. Anteragram/menogram
Menggambarkan arus vaskularisasi.
3. CT SCAN, MRI, SCAN Tulang, Tomogram
Untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
4. Pemeriksaan Lab ( DL )
Untuk pasien fraktur yang perlu diketahui antara lain : HB, HCT (sering rendah karena perdarahan ), WBC ( kadang meningkat karena proses infeksi )
5. Creatinin
Trauma otot meningkatkan beban creatinin untuk klirens ginjal.


D. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Reposisi / setting Tulang
Berarti pengambilan Fragmen tulang terhadap kesejahteraannya.
a. Reposisi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya dengan memanipulasi dan traksi manual.
b. Reposisi terbuka dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direposisi.
2. Imobilisasi
Untuk mempertahankan reposisi sampai tahap penyembuhan.
a. Konservatif fiksasi eksterna
Alatnya : Gips, Bidai, Traksi
b. ORIF ( Open reduction Internal fictation )
Alatnya : Pen, flat screw.
3. Rehabilitasi
Pemulihan kembali / pengembalian fungsi dan kekuatan normal bagian yang terkena


Daftar Pustaka

Capernito,L.J.1999. Buku Saku Diagnoasa Keperawatan. Jakarta : EGC
Doenges,Marilyn.1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi Ketiga. Jakarta : EGC
Mansjoer,arief.2000. Kapita Selekta Kedokteran,Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius
Price,Sylvia .1995. Patofisiologis ,Konsep Klinis dan Proses – Proses Penyakit, Edisi 6.Jakarta : EGC

Laporan Pendahuluan DM

LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETES MELITUS (DM)


I. KONSEP DASAR TEORI
A. Pengertian
Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner & Suddart, 2002). Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronis pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membrane basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron (FKUI, 1998).
Jadi Diabetes Melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolic akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan miokroskop electron.

B. Etiologi
1. IDDM
a. Faktor genetik : individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor Immunologi : adanya suatu respon autoimun yang abnormal, dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara tereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing autoantibodi terhadap sel-sel Pulau Langerhans dan insulin endogen (internal). Terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe I.
c. Faktor Lingkungan : virus/toksin tertentu dapat memicu proses autoimun.

2. NIDDM
Faktor genetic
Faktor-faktor risiko tertentu : usia ( resistensi insulin meningkat pada usia lebih dari 40 tahun ), obesitas, riwayat keluarga kelompok etnik, diit.

C. Patofisiologi
Genetik Imunologik Lingkungan

Tipe antigen HLA Responn albumin Virus/toksik

Antibobi memicu proses autoimun

Sel beta pulau langerhans
Dan insulin endogen

Diabetes mellitus


Hilangnya nafsu makan kesemutan pada ekstermitas bisa mengulur diit
Muntah sering haus
Perubahan nutrisi
Banyak minum
Penurunan BB drastic
Sering kencing
Lemah, letih, lesu kelelahan


Mata kabur cedera
Ggn penglihatan
Perlukaan





Px bertanya tentang penyakitnya
Px tampak gelisah
Px selalu ingin didampingi o/ orang terdekat





II. KONSEP DASAR ASKEP
A. Pengkajian
Data subjektif : pasien mengeluh lemah, letih, lesu, sering haus, banyak minum, sering kencing, penurunan BB drastic, kesemutan pada ekstermitas, mata kabur/ gangguan penglihatan, kulit kering, hilang nafsu makan, tidak bisa mengulur diit.
Data objektif : demam, disorientasi, mengantuk, letargi, stupor, koma,muntah, gelisah,luka yang sulit sembuh.

B. Diagnosa keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d defisiensi insulin (penurunan ambilan dan penggunaan glukosa oleh njaringan).
2. Kekurangan volume cairan b/d diuresis osmotic
3. Risiko terhadap perubahan suhu tubuh b/d efektifnya termoregulasi sekunder akibat infeksi.
4. Risiko tinggi infeksi (sepsis) b/d kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit.
5. Kelelahan b/d penurunan produksi energi metabolic.
6. Risiko tinggi terhadap perubahan sensori perceptual b/d gangguan penglihatan.
7. Ansietas b/d pengobatan atau kurang informasi.
8. Penatalaksanaan terapeutik tak efektif b/d kurang pemgetahuan.
9. Kerusakan integritas kulit b/d luka/ ulkus diabetic.
10. Nyeri b/d kerusakan integritas kulit.

C. Perencanaan
1. Diagnosa 1
Intervensi :
a. Timbang BB tiap hari.
Rasional : mengkaji masukan nutrisi yang adekuat.
b. Tentukan program diit dan pola makan pasien.
Rasional : mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan kebutuhan terapeutik.
c. Observasi tanda-tanda hipoglikemia ( perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/ dingin, nadi cepat, sakit kepala).
Rasional : metabolisme karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan berkurang, semantara tetap diberikan insulin maka hipoglikemia terjadi.
d. Kolaborasi dala pemberian insulin secara teratur.
Rasional : Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memudahkan glukosa kedalam sel.
2. Diagnosa 2
Intervensi:
a. Pantau tanda vital.
Rasional : hipoolume dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardi.
b. Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urine.
Rasional : mempertahankan hidrasi/ volume sirkulasi
c. Pertahankan untuk memberikan cairan 250 cc/hari dalam batas yang dapat ditoleransi oleh jantung.
Rasional : mempertahankan hidrasi/ volume sirkulasi
d. Beri terapi cairan sesuai dengan indikasi.
Rasional : Tipe dan jumlah cairan tergantung kepada derajat kekurangan cairan dan respon pasien secara individual.
3. Diagnosa 3
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda vital
Rasional : Indikasi terjadinya infeksi
b. Observasi keadaan kuilit dan sirkulasi
Rasional : Keadaan kulit yang kering dan adanya lesi menimbulkan perubahan suhu tubuh
c. Kaji tandas-tanda dehidrasi
Rasional : konserpatif dalam memberikan tindakan
d. Observasi masalah yang dapat memberatkan hipotermia/hipertermia.
Rasionalmencegah kondisi yang semakin buruk.
4. Diagnosa 4
Intervensi :
a. Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktifitas
Rasional : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatan aktifitas
b. Bentuk aktifitas alternative dengan periode istirahat yang cukup
Rasional : mencegah kelelahan yang berlebih
c. Pantau nadi, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah sebelum dan sesudah melakukan aktifitas
Rasional : Mengidentifikasi tingkat aktifitas yang dapat ditolerandsi
d. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktifitas
Rasional : meningkatkan kepercayaan diri/ harga diri pasien.
5. Diagnosa 5
Intervensi :
a. Gunakan teknik steril sewaktu penggantian balutan
Rasional : mencegah masuknya bakteri, mengurangi risiko infeksi nosokomial
b. Gunakan sarung tangan waktu merawat luka
Rasional : mencegah pencegahan infeksi
c. Pantau kecendrungan suhu
Rasional : Hipotermi adalah tanda-tanda penting yang merefleksikan perkembangan status shock/ penurunan perfusi jaringan
d. Berikan obat anti infeksi sesuai dengan petunjuk
Rasional : Dapat membasmi/ memberikan imunitas sementara untuk infeksi umum/ penyakit khusus.
6. Diagnosa 6
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital dan status mental
Rasional : sebagai dasar dalam membandingkan temuan abnormal
b. Lindungi pasien dari cedera
Rasional : Pasien mengalami disorientasi merupakan awal terjadinya cedera
c. Selidiki adanya keluhan parasetia, nyeri/ kehilangan sensori pada kaki/ paha
Rasional : Neuropati perifer dapat mengakibatka rasa tidak nyaman yang berat
d. Berikan pengobatan sesuai dengan obat yang ditentukan
Rasional : Gangguan terhadap aktifitas, kejang biasanya hilang bila keadaan hiperosmolalitas teratasi.
7. Diagnosa 7
Intervensi :
a. Evaluasi tingkat ansietas
Rasional : ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat
b. Berikan informasi tentang proses penyakit dan antisipsi tindakan
Rasional : mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas
c. Kurangi stimulasi dari luar
Rasional : menciptakan terapi yang terapeutik
d. Berikan obat anti ansietas
Rasional : menurunkan pengaruh dan sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
8. Diagnosa 8
Intervensi :
a. Ciptakan lingkungan saling percaya
Rasional : mananggapi dan memperhatika perlu diciptakan sebelum bersedia mengambil bagian dalam proses belajar
b. Diskusikan topik-topik utama yang berhubungan dengan penyakitnya
Rasional : memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya hidup
c. Hindari kesan menekan
Rasional : partisipasi dalam perencanaan
d. Usahakan untuk menemukan kecocokan
Rasional : pemahaman tentang aspek yang digunakan.
9. Diagnosa 9
Intervensi :
a. Pantau kulit untuk luka terbuka
Rasional : memberikan informasi tentang sirkulasi kulit
b. Ganti balutan sesering mungkin
Rasional : mempertahankan kulit sekitar luka tetap bersih
c. Kolaborasi dalam irigasi luka, bantu dalam melakukan debridement sesuai kebutuhan
Rasional : membuang jaringan nekrotik pada luka
d. Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : untuk mengobati infeksi khusus dan meningkatkan penyembuhan.
10. Diagnosa 10
Intervensi :
a. Pantau lokasi nyeri
Rasional : ketahui lokasi nyeri secara pasti
b. Dorong menggunakan teknik management stress seperti nafas dalam.
Rasional : membantu pasien untuk relaksasi
c. Ubah posisi secara periodic dan berikan latihan gerak
Rasional : dapat memperbaiki sirkulasi jaringan
d. Berikan obat sesuai indikasi (analgetik)
Rasional : menurunkan nyeri/ spasme otot.

D. Pelaksanaan
Sesuai intervensi

E. Evaluasi
1. Nuitrisi pasien adekuat
2. kebutuhan cairan pasien adekuat
3. Tidak terjadi hipotermi/hipertermi
4. Tidak terjadi infeksi
5. Pasien lebih bertenaga
6. Tidak terjadi perubahan persepsi sensoris
7. Tidak cemas
8. Pasien dapat melaksanaakan terapeutik sexara efektif
9. Integritas kulit baik
10. Nyeri berkurang/terkontrol
Daftar Pustaka :
Smeltzer Swan (2001) Buku Ajar Medikal Bedah Jakarta ; EGC
Carpenito,Lynda Juall (2000) Diagnosa Kperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Jakarta : EGC
Doengos, Marylin E (1999) Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC